
Dari sekian banyak kerajinan tangan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Kerajinan sulam Air Guci atau Arguci adalah salah satunya.
Kerajinan berupa kemahiran menyulam atau melukis kain dengan menempelkan payet ini memang sudah dimiliki orang-orang Banjar sejak lama. Bukan itu saja, kerajinan ini juga berkaitan erat dengan sejarah perjalanan panjang eksistensi masyarakat Banjar.
Sama seperti keberadaan kain Sasirangan dan Sarigading, Air Guci ini kemunculannya juga tak terlepas dari jalannya kisah hikayat Banjar. Menurut kisah dalam budaya tutur masyarakat Banjar yang secara turun-temurun terus dijaga, konon arguci merupakan simbol kemewahan pembesar kesultanan Banjar dan para pagustian (bangsawan/keluarga kerajaan).
Pada kejayaan kesultanan Banjar keindahan Sulam Arguci (payet) ini telah menghias baju-baju kebesaran yang dipakai oleh raja-raja Banjar. Selain juga mempercantik dinding-dinding istana, bahkan sampai ranjang para sultan juga tidak luput dari sentuhan arguci dengan motif beragam yang umumnya mempunyai pakem yang melekat.
Sepertinya tradisi dan kebiasaan lingkungan istana Kesultanan Banjar yang selalu menjadikan arguci sebagai elemen penting dan utama untuk membangun estetika di berbagai kepentingan dan keperluan estetis kesultanan sejak ratusan tahun yang lalu dan inilah akar dari ciri khas dekorasi pelaminan, ragam hias pakaian adat dan juga hiasan tradisional khas Banjar yang hingga kini dipakai.
Sebagai produk budaya tradisional, arguci juga tidak terlepas dari berbagai mitos yang menyertai dan sebagian di antaranya masih diyakini masyarakat Banjar.
Salah satu mitos yang paling banyak diketahui umum adalah baju kebesaran untuk raja/sultan Banjar yang harus berwarna kuning dan wajib berhias arguci. Mengapa harus kuning, kalau dirunut dari tradisi masyarakat Melayu secara umum, warna kuning dimaknai sebagai lambang/simbol kemakmuran. Artinya secara logika siapapun yang menjadi raja akan berusaha untuk membawa rakyatnya kepada kemakmuran.
Ada istilah khusus di kalangan para saat mengerjakan arguci ini yakni, “bagawi di mata lubang jarum” dimana istilah menggambarkan para perajinnya harus telaten dan sabar saat mengerjakannya, sehingga tahu motif yang dihasilkan ‘salah sulam’. (berbagai summer / tim RB)

Sepertinya tradisi dan kebiasaan lingkungan istana Kesultanan Banjar yang selalu menjadikan arguci sebagai elemen penting dan utama untuk membangun estetika di berbagai kepentingan dan keperluan estetis kesultanan sejak ratusan tahun yang lalu dan inilah akar dari ciri khas dekorasi pelamainan, ragam hias pakaian adat dan juga hiasan tradisional khas Banjar yang hingga kini dipakai.
Sebagai produk budaya tradisional, arguci juga tidak terlepas dari beragam mitos yang menyertai dan sebagian di antaranya masih diyakini masyarakat Banjar.
Salah satu mitos yang paling banyak diketahui umum adalah baju kebesaran untuk raja/sultan Banjar yang harus berwarna kuning dan wajib berhias arguci. Mengapa harus kuning, kalau dirunut dari tradisi masyarakat Melayu secara umum, warna kuning dimaknai sebagai lambang/simbol kemakmuran. Artinya secara logika siapapun yang menjadi raja akan berusaha untuk membawa rakyatnya kepada kemakmuran.
Ada istilah khusus dikalangan para saat mengerjakaan airguci ini yakni, “bagawi di mata lubang jarum” dimana istilah mengambarkan para perajinnya harus telaten dan sabar saat mengerjakannya, sehingga tahu motif yang dihasilkan ‘salah sulam’. (berbagai summer / tim RB)