Masjid Sultan Suriansyah Eksistensi Religius dan Budaya Orang Banjar

Bagikan Artikel
Masjid Sultan Suriansyah merupakan masjid tetra di Kalimantan Selatan

Ragamberita.id – Masjid Sultan Suriansyah atau dikenal dengan sebutan Masjid Kuin merupakan masjid bersejarah di Kota Banjarmasin dan juga merupakan salah satu masjid tertua di Tanah Baanjar.

Masjid yang berada di tepi Sungai Kuin ini dibangun pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550) yang merupakan Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam.

Selain merupakan masjid tertua, keunikan masjid ini juga terletak pada bentuk arsitekturnya.

Dimana bangunan masjid ini memakai arsitektur tradisional Banjar, dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang dan bagian mihrab memiliki atap sendiri yang terpisah dengan bangunan induk.

Selain corak bangunan yang khas, ornamen unik berupa ukiran juga menghiasi dinding-dinding bangunan masjid ini.

Ukiran yang terdapat dalam masjid ini seperti khasnya ukiran yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Banjar yakni, berupa motif flora dan fauna dan didukung oleh warna hijau dan biru yang melambangkan warna alam. Serta juga adanya warna kuning yang mencolok, dikatakan adalah warna khas Suku Dayak.

setiap motif flora dan fauna memiliki arti. Motif mawar dan melati melambangkan kesucian dan percintaan, yang bermakna suata harapan kehidupan. Motif daun jaraju melambangkan tolak bala, bermakna kesuburan.

Motif buah manggis bermakna walaupun kehidupan pahit diluar tapi manis di dalam. Motif pilinan tali bermakna tali persaudaraan.

Selain itu, juga ada beberapa simbol masyarakat Banjar yang dijadikan hias jamang degan motif stilisasi buntut ayam jago bermakna kekuatan, motif hiris gagaras bermakna cantik dan tidak bosan dipandang, ragam hias puraka dengan motif stiliran burung anggang bermakna kasih sayang dan stiliran buah waloh bermakna kesuburan dan kejayaan.

Terakhir, ada motif seperti kipas yang melambangkan matahari yang bermakna mendapat kehidupan yang layak dan memberi sinar terang kepada masyarakat.

Selain itu, pada daun pintu sebelah kanan masjid, terdapat 5 baris inskripsi Arab Melayu yang berbunyi “Ba’da hijratun Nabi Shalallahu’alaihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamijidillah Kerajaan Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang Mulia”.

Sementara pada daun pintu sebelah kiri, tertulis 5 baris inskripsi Arab Melayu juga, yang berbunyi “Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Syakban tatkala itu (selanjutnya tidak terbaca)”.

Kedua inskripsi ini menunjukkan bahwa pada 10 Syaban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (pintu utama) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Tamijidullah (1734-1759).

Penyematan nama Sultan Suriansyah pada masjid ini tak lepas dari sejarah panjang yang menyertainya. Awalnya, Sultan Suriansyah dikenal dengan nama Pangeran Samudera yang merupakan cucu dari Maharaja Sukamara, raja Kerajaan Negara Daha (kini masuk wilayah Kabupaten Hulu Selatan).

Sebelum meninggal, Maharaja Sukamara berwasiat agar yang naik tahta menggantikan dirinya adalah Pangeran Samudera, yang merupakan putra dari anak perempuan Maharaja Sukamara, yakni Puteri Galuh, hasil pernikahan dengan Menteri Jaya.

Tetapi, putra Maharaja, Pangeran Tumenggung dan Pangeran Bagalung tidak menyetujui keputusan itu. Karena jika mengikuti jalur tradisi, pengganti raja yang mangkat seharusnya putera kandungnya.

Singkat cerita, suasana kerajaan memanas. Keselamatan Pangeran Samudera pun terancam. Atas inisiatif seorang punggawa bernama Arya Trenggana, Pangeran Samudera diminta untuk meninggalkan istana.

Pangeran Samudera mematuhi permintaan itu dan memulai pelarian dengan menyamar menjadi nelayan. Tak disengaja ia bertemu dengan Patih Masih di perkampungan Kuin. Ia lalu diangkat menjadi raja Kerajaan Banjar dan melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha.

Sumber : Dari berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *