
Isu ketidakadilan perlakuan negara terhadap pendidikan agama kembali mencuat dalam forum diskusi “Ngopi Bareng Bang Cuncun” yang digelar pada Sabtu (15/11/2025) sore di Banjarmasin. Sejumlah pemangku kebijakan, mulai dari DPR RI hingga tokoh politik daerah, kompak menilai pendidikan agama masih diperlakukan sebagai sektor kelas dua dalam sistem pendidikan nasional.
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menegaskan bahwa penyusunan ulang peta jalan pendidikan nasional saat ini menjadi momentum penting untuk mengevaluasi ketertinggalan pendidikan agama di Indonesia.
“Kualitas pendidikan kita, baik umum maupun agama, masih ketinggalan. Di tingkat global jelas tertinggal, bahkan di level regional pun demikian,” ujar Cucun seusai acara.
Ia menjelaskan bahwa naskah akademik peta jalan pendidikan sudah hampir rampung 80 sampai 90 persen. Namun, salah satu persoalan mendasar yang harus dibenahi adalah ketimpangan perhatian negara terhadap pendidikan agama.
“Guru agama selama ini kurang mendapat perhatian. Peserta didiknya juga. Bahkan lembaganya, terutama yang di tingkat bawah, jauh tertinggal. Ini tidak boleh terus terjadi,” tegasnya.
Kewenangan Daerah Dinilai Terbatas
Cucun juga menyoroti kekeliruan dalam penerjemahan undang-undang, sehingga membuat pemerintah daerah kehilangan ruang untuk memperjuangkan pendidikan agama.
“DPRD provinsi hingga kabupaten/kota tidak bisa berbuat banyak karena dibatasi aturan. Ini fatal. Fungsi agama dianggap hanya fungsi keagamaan, padahal pendidikan agama adalah bagian dari pendidikan nasional yang harus memiliki hak setara,” jelasnya.
Meski begitu, ia memastikan bahwa keberadaan UU 18/2019 tentang Pesantren memberi payung hukum yang kuat. Pendanaan pesantren kini bisa berasal dari APBN maupun APBD, sehingga daerah memiliki peluang lebih luas dalam memberikan dukungan anggaran.
“Waktu saya memimpin Banggar, saya hindari limitasi anggaran. Kalau dibatasi 5 persen padahal butuh 10 persen, itu tidak optimal. Tinggal kemauan kepala daerah saja,” tambahnya.
Direktur Pendidikan Agama Islam pada Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, MN Munir, mengakui akar persoalan memang terletak pada undang-undang yang membatasi kewenangan Kemenag dalam pengelolaan anggaran, sehingga ruang geraknya terbatas.
“Kalau Kemenag diberi hak yang setara dengan Kementerian Pendidikan, saya yakin kesejahteraan guru agama, sarana prasarana, dan kualitas pengelolaan tidak akan kalah,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa dari aspek murid, anggaran, hingga kualitas hasil pendidikan, pendidikan agama masih tertinggal dan kerap dipandang sebelah mata.
Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Suripno Sumas, turut memperkuat pandangan bahwa pendidikan agama selama ini tidak mendapatkan perhatian memadai.
“Perkembangan pendidikan Islam sangat ketinggalan dibanding sekolah negeri, baik dari sisi jumlah murid, anggaran, dan lainnya. Pendidikan agama di Indonesia umumnya masih dipandang sebelah mata,” ucapnya.
Ia menegaskan perlunya penyusunan ulang peta jalan pendidikan agama agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini. Suripno juga mendorong pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren sebagai upaya meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan secara menyeluruh.
“Meningkatkan pendidikan agama berarti meningkatkan moral generasi muda. Selama ini keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari ekonomi, bukan dari akhlak,” tegasnya.
Di akhir diskusi, para pemateri sepakat bahwa ketimpangan perlakuan negara terhadap pendidikan agama tidak boleh lagi dibiarkan. Revisi UU Sisdiknas dan penyusunan peta jalan pendidikan nasional yang baru harus menempatkan pendidikan agama pada posisi setara dengan pendidikan umum.
“Kalau ingin bangsa ini punya moral kuat, pendidikan agama harus diperkuat. Saatnya negara berhenti memandang sebelah mata,” tutup Suripno.